Skip to main content

#Day 3


Cerita tentang Danu sekejap tergantikkan oleh bisingnya klakson yang cukup mengganggu pendengaran, sehingga begitu rumit hampir tidak bisa menerjemahkan setiap rasa yang melintas di dada. Perjalanan pulang hari ini sedikit sendu, mungkin karena nyanyian membuai yang membuat diri menjadi terlena pada lirik lagunya. Seketika hati ikut meraung-raung seolah merasakan setiap syair yang terurai pagi itu. Lantas sampai senja masih pada rasa yang sama. Jika diulang lagi, seharusnya pagi hari diisi oleh nyanyian semangat, semacam lagu kebangsaan yang dengan spontan membuat tubuh berdiri tegak dengan tangan menyilang di dada. Memang mengawali hari harus sedikit hati-hati, tidak usah disiapkan dengan khusus, melainkan pilihlah saja sesuatu yang membakar rasa malas dan peluh, juga sakit hati.
Semalam aku dibuat bingung dengan teka-teki yang hadir lewat mimpi. Aku melihat dia dan Danu di dalamnya, lalu secepat itu film diputar dalam otak. Aku berada di sebelah dia mengelilingi jalanan kota Bandung yang cukup ramai, juga dingin. Tidak ada pembicaraan, lebih seperti fokus pada pikiran masing-masing. Mungkin dia harus konsentrasi dengan stirnya, begitu pun aku harus konsentrasi dengan diriku sendiri. Tiba-tiba dia menghentikan laju mobil lalu menoleh kearah kaca di sampingku. Bukan hanya dia aku pun sontak tercengang ketika melihat Danu ada di sebelahku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Mimpiku berhenti sampai disitu.
Memikirkannya membuat kepala ini seakan berputar begitu cepat, rumit sekali. Mencari apa arti dibalik mimpi tadi malam, rasanya seperti memecahkan soal matematika tersulit yang tidak pernah bisa Aku selesaikan. Pun jika cerita ini aku kubur di dasar tanah dan berharap suara-suaranya tidak akan terdengar lagi. Sepertinya tidak akan bisa, karena melakukannya seperti Aku berjalan di atas air, sangat tidak mungkin menyembunyikan perasaan yang sewaktu-waktu hadir kembali. Bukan perihal sulit melupakan, tetapi banyaknya kenangan saat itu yang bisa menghabiskan dua puluh tahun lebih umurku, bahkan tidak ada waktu yang dapat mendefiniskan bagaimana Aku terus mengingat dan terbayang akan dirinya. Dia adalah Esa, yang lebih dulu mengenalku daripada Danu.
Pagi itu Aku mencoba menghubungi Esa lebih dulu, hanya untuk mengetahui kabarnya setelah beberapa bulan ini menghilang. Kabar darinya langsung maksudku, karena selama ini lewat sosial media miliknya lah Aku bisa mengetahui Dia sedang baik-baik saja atau tidak. Kemarin sore Aku melihat lewat ponsel, tubuh Esa yang terbaring lemas di Rumah Sakit. Cukup membantu karena Dia menyertakan keterangan pada fotonya. Namun sedikit membuatku bingung karena yang belum terlalu paham arah di Kota ini. Setelah Aku lihat melalui maps pada ponselku, lumayan jauh dari tempatku bekerja, tapi tidak begitu jauh dari tempatku tinggal. Inilah alasan mengapa pagi-pagi sekali Aku langsung menghubungi Esa, karena sampai saat ini Esa belum membalas pesanku.
Hari-hari berikutnya pikiranku selalu dipenuhi oleh Esa, Esa dan Esa. Sampai suatu ketika aku memesan taksi online dan mendapatkan driver yang memiliki nama yang persis sama dengan nama Esa. Aku tidak mengada-ngada cerita ini, percaya atau tidak aku sampai lemas melihatnya. Lelah rasanya mengkhawatirkan seseorang yang sulit k Aku bisa mengetahui kabarnya. Jangankan Aku menanyainya soal kabar, kata “Hi” pun tidak sempat Dia balas. Semoga Esa baik-baik saja dan Aku berharap Esa segera membalas pesanku setelah pulih.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Hujan, Secangkir Kopi dan Perasaanku

Berlalu dan berhembus akankah kau tau mengapa Gemericik kemarin aku sendiri di ujung kenangan Menebar embun kelabu tak tau bagaimana ku bisa Riuh dan dingin menanti beribu kata tak terucap Bukankah menyaksikan kehangatan yang terbuang sungguh pilu Mengepul putih dari genggaman tangan Kau bilang jika sudah dingin tak menyenangkan Ku bilang ini hanya secangkir fatamorgana yang bisa saja menghilang Satu persatu payung mulai ditutup oleh tuannya, menandakan si hujan berlalu Hitam jauh menghitam tanpa meninggalkan kepulan putih menemani Lantas ku cicipi kopi pahit membuatku lebih baik menelan rasa yang sama Sehingga ku biarkan secangkir kerinduan disudut kota ini sore itu -bersama malam diujung lelap-

Sedikit Cerita Kami

Ini cerita kemarin sore. Hujan membuat basah payung yang semula terlipat. Hmm rasanya aku rindu kehangatan. Wajar saja, sudah lama aku tidak bercengkrama dengan sang penanti. Sulit memang untuk aku yang menanti, setiap hari aku hanya berkaca pada langit, berharap mendapat sedikit celah untuk melihat yang disana. Mungkin untuk yang tidak terbiasa dengan pertemuan diujung senja, kalian tidak akan mau. Jangankan kalian, aku pun sebenarnya tidak mau. Ya tapi apa boleh buat, hanya itu yang dapat dilakukan. Hanya menunggu. Tidak apa-apa, kami adalah dua orang sibuk. Katakan saja begitu. Tapi tidak juga, hanya dia yang sibuk. Aku tidak. Tidak terlalu. Jika ada kesempatan yang dibawa sang waktu, kami juga bertemu. Tidak usah khawatir. Cerita kami tak seburuk itu. Kami ini hanya berbeda dengan orang kebanyakan. Tidak usah giat bertemu, berkabar lewat pesan pun sudah cukup. Aku hanya tidak ingin terlarut begitu dalam pada kehampaan. Aku hanya perlu mawas diri. Harus ingat dia juga sam...

Hilang

Berbicara mengenai berhak atau tidak, kian hari semakin membuat runyam isi kepala. Ingin mengungkapkan semua yang telah dilalui, meski hanya sekedar cerita lelucon tadi pagi. Tapi pada siapa?  Rasanya Isi kepala hanya dipenuhi oleh prasangka-prasangka sampah saja. Menghabiskan waktu untuk memikirkan sesuatu yang jelas-jelas menguras energi. Bahkan orang lain pun dipikirkan secara sukarela sehingga diri kesulitan untuk menempatkan 'perasaannya'. Ego menjadi semakin berkuasa sementara hati dan pikiran kian hari kian hilang koneksinya. Ketakutan tanpa sebab terus menghantui di ujung sayup-sayup pada saat sebentar lagi terbenam. Kegelisahan seolah-olah adalah sosok nyata, melambaikan lengannya pada setiap kedipan mata. Seperti meminta pertolongan namun kenyataannya bisa saja mencelakai. Malam ini aku benar-benar merasa seolah kehilangan semuanya.